Artikel Kampus STAI Assalamiyah
Artikel Kampus STAI Assalamiyah

KEISLAMAN DAN ETIKA KEILMUAN

12 May 2025

28

0

KEISLAMAN DAN ETIKA KEILMUAN:

TELA’AH PEMIKIRAN KH. M. HASYIM ASY’ARI

 

Oleh : H.Maman Lukman

Abstrak

Keislaman merupakan sistem tata nilai, pedoman, regulasi, dogma, aturan Allah SWT yang secara khusus diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, untuk kesejahteraan, keselamatan dan kedamaian  umat manusia dan alam semesta. Sistem tata nilai dan aturan tersebut meliputi bagaimana menjalin hubungan dengan Allah, sesama manusia dan alam semesta.  Dan etika keilmuan tersebut adalah adab atau SOP salah satu dari  aspek instrumen soft ware penting, dan keberadaannya sangat vital untuk meraih tujuan di dunia Pendidikan Islam. Makalah ini menela’ah pemikiran KH. Hasyim Asy’ari mengenai keislaman dan etika keilmuan. Pemikiran keislaman dan etika keilmuan Hasyim Asy'ari disajikan dengan analisis deskriptif yang dibingkai dalam sebuah studi kepustakaan. Hasil kajian Halaqoh ini, menunjukkan bahwa pemikiran keislaman Hasyim Asy’ari bercorak Islam tradisional khas Indonesia yang berfokus pada tasawufnya Al-Junaidi Al-Baghdadi dan Imam Al-Ghazali, teologi (ahlussunah wal jama’ah) Al-Asy’ari dan Al-Maturidi dan penganut fiqh empat mazhab. Pemikiran KH. Hasyim As’ari tentang etika keilmuan mencakup dua aspek, yaitu etika, bagi seorang pendidik dengan peserta didik. Menurutnya, tujuan pendidikan pada setiap manusia adalah untuk menjadi insan paripurna,  agar semakin dekat dengan Sang Pencipta, dalam rangka meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Dalam kitab Adab al-Alim wa al-Muta’alim, KH. M. Hasyim Asy’ari menyebutkan nilai etis moral harus menjadi desain besar, bagi semua (pendidik dan peserta didik) atau bagi semua orang. Sehingga seorang pencari ilmu mengejawantahkan ilmunya dalam kehidupan keseharian dengan perilaku hidup tawakkal, wara’, beramal dengan mengharap ridha Allah semata, bersyukur, ikhlas dan sebagainya.

 

Kata Kunci: Keislaman, Etika Keilmuan, KH. M. Hasyim Asy’ari.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

A.    PENDAHULUAN

 

Latar Belakang Masalah

KH. Hasyim Asy’ari dikenal dengan tokoh par-excellence yang mampu mewariskan khazanah khas ala Indonesia. Melalui karya-karyanya, KH. M. Hasyim Asy’ari berhasil mengkontruksikan pemikiran dan perilaku masyarakat Indonesia dengan konsep keberagamaan khas Indonesia. Di satu sisi tidak lepas dari akar  tradisi yang berkembang di Indonesia, dan di sisi lain KH. M. Hasyim Asy’ari tetap berpegang teguh kepada khazanah salafusshalih sunni. Inilah yang membuat keunikan dan perbedaan dengan tokoh-tokoh agama lainnya.

KH. M. Hasyim Asy’ari dapat dikatakan sebagai seorang ulama besar yang kharismatik dan mempunyai pemikiran yang besar dan luas dalam bidang keislaman. Beliau menjadi uswatun hasanah baik dalam pemikiran, sikap, tingkah laku, maupun tutur bahasanya, sehingga dapat dijadikan panutan bagi masyarakat, baik pada masa lalu maupun pada masa kini. Beliau mempunyai peranan yang sangat besar dalam pemberdayaan umat sejak zaman penjajahan Belanda, Jepang maupun pada saat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Dalam bidang keislaman, etika, adab atau akhlak merupakan sesuatu yang harus di kedepankan. karena dalam kitab Adab al-Alim wa al-Muta’alim KH. M. Hasyim Asy’ari menyebutkan nilai etis moral harus menjadi desain besar orang hidup di dunia. Melalui kitab tersebut, KH. M. Hasyim Asy’ari menjelaskan seorang pencari ilmu menerapkan ilmunya dalam kehidupan kesehariannya dengan perilaku hidup tawakkal, wara’, beramal dengan mengharap ridha Allah semata, bersyukur, ikhlas dan sebagainya.

Etika pendidikan merupakan salah satu soft ware dalam pendidikan Islam. Keberadaannya selalu dibutuhkan karena mempunyai peran yang signifikan dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan. Pendidikan Islam merupakan proses pemahaman nilai-nilai dan bukan sekadar pemindahan ilmu pengetahuan dari pendidik kepada peserta didik belaka. Sistem nilai yang melekat pada pendidikan Islam adalah nilai-nilai yang dijiwai oleh dasar ajaran Islam, yaitu al-Qur`an dan al-Sunnah. Nilai-nilai Qur`ani dengan segala penjelasan dan tafsirannya baik berupa al-Sunnah maupun ijtihad Ulama itulah yang disebut moralitas Islam. Dalam pendidikan Islam, nilai yang demikian disebut sebagai moralitas pendidikan Islam atau akhlak pendidikan Islam.

Dalam kaitannya dengan etika pendidikan Islam, KH. M. Hasyim Asy`ari seorang tokoh, ahli dan praktisi pendidikan di Indonesia mengarang sebuah kitab yang berjudul Adab al-`Alim wa al-Muta`allim. Kitab ini secara khusus membahas dengan cukup rinci tentang etika seorang pendidik (`alim) dan etika seorang peserta didik (muta`allim). Kitab ini disusun pada tahun 1923 M/1343 H, ketika telah mulai tampak perubahan- perubahan yang membawa efek negatif dalam pendidikan Islam terutama dampaknya pada masalah akhlak. Pendidik Islam harus menyadari bahwa masalah etika menjadi kajian yang cukup serius karena dewasa ini dunia pendidikan banyak terkontaminasi oleh pembaruan nilai nilai (akulturasi sistem nilai dan budaya) yang semakin terbuka dan sulit dibendung. Karena itulah dibutuhkan suatu perangkat etika baru yang disebut

etika rekayasa yang merupakan introduksi normatif terhadap isu-isu dasar pada problematika moral yang dihadapi manusia dalam pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi beserta rekayasanya.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka tujuan dalam kajian ini perlu menelaah kembali tentang pemikiran KH. Hasyim Asy’ari mengenai keislaman dan etika keilmuan. Selanjutnya penting untuk diimplementasikan, disamping karena keduanya saling berhubungan, etika keilmuan merupakan kajian yang sangat urgent bagi seseorang dalam meningkatkan kualitas keislaman. Dengan demikian, pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dalam kajian ini dapat dijadikan refleksi dan khazanah pembelajaran bagi seluruh umat Islam di dunia.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

B.     PEMBAHASAN

1.  Biografi KH. M. Hasyim Asy’ari

 

Kehidupan KH. M. Hasyim Asy’ari tidaklah mudah digambarkan dengan kata-kata,  akan tetapi dapat disederhanakan dengan  dua point kalimat, yaitu “Dari Pesantren, kembali ke Pesantren”,  atau “Dari Pesantren untuk NU” atau juga “Islam dan Kebangsaan”, mengapa pesantren, NU dan Kebangsaan? karena beliau dibesarkan di lingkungan pesantren, pesantren penjaga dan benteng ahlus sunah waljamaah Islam tradisional khas Indonesia dan pendiri  NU sebagai harokah kebangsaannya, dan beliau sangat konsen memikirkan keIslaman dan Politik Kebangsaan Indonesia.

Tujuh tahun lamanya beliau menimba ilmu di Mekkah, sambil ibadah haji, dan nyantri seperti pesantren dilingkungan Masjidil Haram Mekkah dan juga dilingkungan sekitar  Masjid Nabawi Madinah. Beliau kembali ke Nusantara (Indonesia) untuk mendirikan pesantren sendiri dan menghabiskan sebagian besar waktunya digunakan untuk mengajar para santrinya. Bahkan beliau mengatur “kegiatan-kegiatan politik kebangsaan” dari pesantren.

Melihat dari latar belakang keluarga, KH. M. Hasyim Asy’ari diberi nama lengkap

 

oleh orang tuanya adalah Muhammad Hasyim Asy’ari. beliau lahir dari kalangan elit

 

darah biru kyai Jawa, pada 24 Dzulqa’dah 1287 atau 14 Februari 1871 di desa Gedang

 

sekitar dua kilometer sebelah timur kabupaten Jombang1. Beliau wafat di Jombang pada 7

 

Ramadhan 1366 H/25 Juli 1947 M sebab terkena tekanan darah tinggi2. Ayahnya bernama

 

Asy’ari, beliau adalah pendiri pesantren Keras di Jombang, sementara kakeknya dari ibu,

 

Kyai Usman, adalah kyai terkenal dan pendiri pesantren Gedang yang didirikan pada

 

 akhir abad ke-19.3. Moyang KH. M. Hasyim Asy’ari bernama Kyai Sihah, adalah

 

pendiri pesantren Tambakberas, Jombang4.

 

 

 

  
 


 

1 Lathiful Khuluq, ‘K.H. Hasyim Asy’ari’s Contribution to Indonesian Independence’, Studia Islamika 5, no. 1 (April 1998): 46, https://doi.org/10.15408/sdi.v5i1.760.

2 Hartono Margono, ‘KH. Hasyim Asy’ari dan Nahdlatul Ulama: Perkembangan Awal dan Kontemporer’ 26,

no. 3 (Juli 2011): 341


 

 

KH. M. Hasyim Asy’ari adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Ayahnya Kyai Asy’ari asal Demak. Ibunya, Nyai Halimah, adalah putri Kyai Usman. Sang ibu merupakan anak pertama dan tiga laki-laki dan dua perempuan. Dari pernikahan Kyai Asy’ari dan Nyai Halimah, lahirlah Hasyim Asy’ari. Beliau mempunyai 10 saudara, yaitu Nafi’ah, Ahmad Saleh, Radjah, Hasan, Anis, Fathanah, Maimunah, Maksum, Nahrawi, dan Adnan5. Secara geneologi KH. M. Hasyim Asy’ari bin Asy’ari bin Abdul Wahid bin Abdul Halim, yang memiliki gelar pangeran Bona, bin Abdul Rohman Rahman, yang dikenal dengan Jaka Tìngkir Sultan Hadiwijoyo, bin Abdullah bin Abdul Aziz bin Abdul Fatih bin Maulana Ishaq, dan Raden ‘Ain Al Yaqin yang disebut dengan Sunan Giri. Dengan demikian, dipercayai bahwa keluarganya adalah keturunan raja muslim jawa, Jaka Tingkir, dan raja Hindu Majapahit, Brawijaya VI, sehingga bisa dikatakan keturunan KH.

M. Hasyim Asy’ari berasal dari keluarga bangsawan6.

 

Riwayat pendidikan Pendidikan KH. M. Hasyim Asy’ari lebih banyak diperoleh dari lingkungan pesantren, khususnya dari lingkungan keluarganya yang dikenal sebagai pendidik di pesantren. Pada umur lima tahun, KH. M. Hasyim Asy’ari dalam asuhan orang tua dan kakeknya di pesantren Gedang. Di pesantren ini, para santri mengamalkan ajaran agama Islam dan belajar berbagai cabang ilmu agama Islam. Suasana tersebut mempengaruhi karakter KH. M. Hasyim Asy’ari yang sederhana dan rajin belajar. Pada 1876, ketika KH. M. Hasyim Asy’ari berumur enam tahun, ayahnya mendirikan pesantren Keras, sebelah Selatan Jombang7. Kehidupan masa kecilnya di lingkungan pesantren ini memang berperan besar dalam mempengaruhi pembentukan wataknya yang tekun mencari ilmu pengetahuan dan kepeduliannya pada pelaksanaan ajaran-ajaran agama dengan baik8.

 

  
 


 

3 Lathiful Khuluq, Fajar kebangunan ulama: biografi K.H. Hasyim Asy’ari, Cet. VI (Yogyakarta: LKiS, 2013), 17.

4 Mohammad Herry, Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20 (Jakarta: Gema Insani, 2006), 31.

5 Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari: Moderasi, Keumatan, Dan Kebangsaan (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), 26.

6  Muhamad Rifai, K.H. Hasyim Asy’ari: Biografi Singkat, 1871-1947, Cet. 1 (Yogyakarta: Garasi :

Didistribusikan oleh ar-Ruzz Media, 2009).

7 Muhammad Rijal Fadli dan Bobi Hidayat, KH. Hasyim Asy’ari Dan Resolusi Jihad Dalam Usaha

Mempertahankan Memerdekaan Indonesia (Metro, Lampung: Laduny Alifatama, 2018), 47.

8 Rifai, K.H. Hasyim Asy’ari Biografi Singkat 1871-1947, 21.


 

KH. M. Hasyim Asy’ari mendapat pendidikan langsung dari ayah dan kakeknya, kyai Usman. Hasratnya yang besar untuk menuntut ilmu mendorongnya belajar lebih giat dan rajin. Beliau termasuk anak yang mudah menyerap dan menghafal ilmu yang diberikan. Keistimewaan beliau dalam menyerap dan menghafal ilmu, menjadikannya diberi kesempatan oleh ayahnya pada usia masih remaja, 13-14 tahun, untuk membantu mengajar di pesantren9. Setelah itu pada usia 15 tahun, KH. Hasyim Asy’ari mulai mengembara ke berbagai pesantren di pulau Jawa untuk memperdalam ilmu agama, seperti di pesantren Wonocolo Jombang, pesantren di Purbolinggo, pesantren Langitan, pesantren Tranggilis, dan berguru kepada Kyai Kholil di Bangkalan Madura.

Setelah memperoleh bekal pendidikan dari lingkungan pesantren, KH. M. Hasyim Asy’ari melanjutkan pendidikannya di kota suci Mekkah, bersamaan dengan pelaksanaan ibadah haji. Ketika selesai menunaikan ibadah haji, Kyai Hasyim tidak langsung kembali ke Tanah Air. Tetapi ia menetap selama tujuh tahun untuk mendalami ilmu-ilmu keagamaan, terutama ilmu hadis yang merupakan salah satu bidang ilmu yang paling digemarinya. Hal itu bisa dilihat, karya-karya yang ditulis KH. M. Hasyim Asy’ari selama hidupnya merupakan pembahasan yang berisi tentang hadis-hadis10.

KH. M. Hasyim Asy’ari selama belajar mendalami ilmu keagamaannya di Mekkah, ia berguru kepada ulama-ulama besar internasional dan ada juga yang dari Indonesia, seperti Syaikh Syatha, Syaikh Dagistany, Syaikh Al-Allamah Abdul Hamid Al-Darustany, dan Syaikh Muhammad Syuaib Al-Maghriby, sedangkan yang dari Indonesia ada Syaikh Mahfudz Termas, Syaikh Mahmud Khatib Al-Minangkabawy, Syaikh Nawawi Al-Bantany dan ulama-ulama besar lainnya11. Dengan demikian, guru-guru beliau tersebut telah mewarnai corak tentang pemahaman atau pemikiran mengenai keislaman dalam setiap mengambil sikap dan pandangan terhadap suatu masalah yang dihadapinya.

KH. M. Hasyim Asy'ari selama hidupnya berada dalam lingkungan pendidikan Islam, baik selama di tanah air, maupun di tanah suci Mekkah. Lingkungan inilah yang telah mempengaruhi terhadap tradisi keilmuan yang berlaku di pesantren menjadi bagian dari pemikiran-pemikiran dalam pendidikan Islam. KH. M. Hasyim Asy’ari juga

 

  
 


 

9 Margono, ‘KH. Hasyim Asy’ari dan Nahdlatul Ulama: Perkembangan Awal dan Kontemporer’, 337.

10 Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari Moderasi, Keumatan, Dan Kebangsaan, 44.

11 Syamsul A’dlom, “Kiprah KH. Hasyim Asy’ari dalam Mengembangkan Pendidikan Agama Islam,” JURNAL

PUSAKA 2, no. 1 (February 2014): 14.


 

mengadopsi pendidikan Islam klasik yang lebih mengedepankan aspek-aspek normatif, tradisi belajar-mengajar, dan etika dalam belajar yang dipandangnya akan mengantarkan umat Islam kepada zaman keemasan.

2.  Pemikiran Keislaman KH. M. Hasyim Asy’ari

KH. M. Hasyim Asy’ari merupakan seorang penulis yang produktif. Sebagian besar karangan beliau adalah dari beberapa kitab, yang membahas bidang ilmu tasawuf, fiqh, hadis dan lainnya. Sampai sekarang pun kitab-kitab yang ditulisnya masih dipelajari di berbagai pesantren. Diantara tulisannya adalah At-Tibyan in Nahi’an Muqatha’atil Arham wal Aqarib wal Akhawan (Penjelasan mengenai larangan memutuskan hubungan kerabat dan persahabatan), Adabul ‘Alim wal Muta’alim (Etika guru dan murid) mengenai etika belajar dan urgensi ilmu pengetahuan, Al-Risalah Al Jami’ah (kitab lengkap) menjelaskan berbagai topik seperti kematian dan hari kebangkitan, arti sunnah dan bidah, Al-Qanun al-Asasi li Jam’iyah Nahdlah al-‘Ulama (Aturan dasar perkumpulan Nahdlatul Ulama) membicarakan prinsip-prinsip utama organisasi NU, Al-Mawa’iz (Nasihat) mengajak umat muslim untuk bersatu dan bekerja sama, Hadits al-Mawt wa Ashrah al-Sa’ah (Hadits mengenai kematian dan kiamat)12, Al-Durar Al-Muntathirah fit Tis’ ‘Asyarah (Mutiara- mutiara mengenai sembilan belas masalah) mengenai tasawuf, Al-Risalah At-Tauhidiyyah (Catatan tentang teologi) mengenai Ahlussunah Wal Jama’ah dan sebagainya. Sebenarnya karya-karya KH. Hasyim Asy’ari masih banyak selain yang tertulis di atas, bahkan pidato- pidato KH. Hasyim Asy’ari pun banyak yang diterbitkan dalam surat kabar.13

Pemikiran keislaman KH. M. Hasyim Asy’ari terbagi di beberapa bidang ilmu Islam seperti tasawuf, teologi, fikih dan hadits. Dalam pemikiran keislaman, KH. M. Hasyim Asy’ari menggunakan corak Islam tradisional, corak Islam tradisional di pandang sebagai ajaran yang telah diajarkan oleh pendahulu yaitu walisongo. Beliau tetap mempertahankan corak Islam tradisional ini, sebab paham ini sudah mulai tergerus oleh paham-paham modernis. Oleh karena itu, dalam pemikiran-pemikiran KH. Hasyim Asy’ari bercorak pada Islam tradisional yang sangat berbeda dengan paham-paham modernis, sampai karya-karya yang ditulisnya beranut pada paham Islam tradisional.

  
 


 

12 Lathiful Khuluq, Tafsir Pemikiran Kebangsaan Dan Keislaman Hadratussyaikh K.H. M. Hasyim Asy’ari

(Jombang, Jawa Timur: Penerbit dan distribusi, Penerbit Tebuireng, 2018), 55.

13 Muhammad Isham Hadziq (ed), At-Ta’rif Bi al-Muallif. Dalam Hasyim Asy’ari, Adab al-Alim Wa al-Muta’allim

(Jombang: Maktabat al-Turats al-Islami, 1995), 145.


 

a.      Tasawuf (Sufisme)

 

Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari mengenai tasawuf (sufisme) dijelaskan dalam karyanya yaitu kitab berjudul Ad-Durar Al-Muntathirah fil Masa’il At-Tis’ Asyarah (mutiara-mutiara tercecer tentang sembilan belas masalah) dan kitab At-Tibyan fin Nahi’an Muqatha’atil Arham wal Aqarib wal Akhawan (penjelasan mengenai larangan memutuskan kerabat dan teman). Dalam tulisannya beliau ini mengecam keras terhadap penyimpangan-penyimpangan ajaran sufi. Contohnya dalam kitab Ad-Durar, KH. Hasyim Asy’ari menjelaskan bahwa dalam penyimpangan ajaran sufi adalah “para sufi itu sendiri”. Maka KH. Hasyim Asy’ari membuat terobosan hal-hal yang menyimpang itu untuk dilakukan dengan perilaku yang biasa saja (tawasuth/moderat) jangan terlalu berlebihan14. Seperti dalam memuliakan guru, ia memberikan contoh terhadap santri- santrinya kalau dirinya tidak bersedia dipanggil sebagai guru sufi, jadi harus bersikap sederhana/biasa saja bahkan ia melarang santrinya untuk mengikuti persaudaraan sufi, semuanya dilakukan bermaksud supaya tidak meninggalkan pelajaran15. Konsep ajaran sufi yang dituliskan KH. Hasyim Asy’ari telah mengajarkan bahwa dalam ajaran sufi tidak boleh berlebih-lebihan terhadap apapun, tetapi ia menganjurkan untuk biasa-biasa saja, tujuannya supaya sufisme dalam Islam tidak dianggap radikal.16

Pemikiran tasawuf (sufi) KH. Hasyim Asy’ari bertujuan untuk memperbaiki perilaku umat Islam secara umum dan dalam banyak hal, ini semua merupakan perulangan prinsip-prinsip sufisme yang telah diajarkan oleh Imam Al-Ghazali (ihya’ ulumuddin). Menurut KH. Hasyim Asy’ari dan Madjid ada empat peraturan yang harus dilakukan jika seseorang ingin disebut sebagai pengikut suatu tarekat (bagian dari ilmu sufisme), yaitu 1) Menghindari penguasa yang tidak melaksanakan keadilan; 2) Menghormati mereka yang berusaha dengan sungguh-sungguh meraih kebahagiaan di akhirat; 3) Menolong orang miskin dan 4) Melaksanakan shalat berjama’ah.17

Pemikiran sufistik KH. Hasyim Asy’ari sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam (orthodox) dan sangat berbeda dengan sufisme yang dikembangkan oleh Hamzah

 

  
 


 

14 Khuluq, Tafsir Pemikiran Kebangsaan Dan Keislaman Hadratussyaikh K.H. M. Hasyim Asy’ari, 68.

15 Akarhanaf, Kiai Hasjim Asy’ari Bapak Umat Islam Indonesia (Jombang: Pesantren Tebuireng, 1950), 41.

16 Kambali Zutas, “Literacy Tradition in Islamic Education in Colonial Period (Sheikh Nawawi al Bantani, Kiai Sholeh Darat, and KH Hasyim Asy’ari),” Al-Hayat 1, no. 1 (Oktober 2017): 16–31, https://alhayat.or.id/index.php/alhayat/article/view/2.

17 Nurcholis Madjid, Islam, Iman Dan Ihsan Sebagai Trilogi Ajaran Islam (Jakarta: Yayasan Paramadina, 1994).


 

Fansuri, Abd Rauf As-Sinkili dan Syamsudin As-Sumatrani di Nusantara abad ke 13 M. Menurut Fazlur Rahman, Sufi Islam murni ini berkembang setelah adanya gerakan pembaruan neo-sufi yang berpusat di Mekkah dan Madinah pada akhir abad 19 M, bertujuan membersihkan sufisme dari ajaran-ajaran asketik dan metafisik untuk digantikan dengan ajaran-ajaran Islam murni dalam sufisme. Pembaruan dalam ajaran sufi ini telah diterima oleh KH. Hasyim Asy’ari ketika belajar di Hijaz pada akhir abad 19 M.18

KH. Hasyim Asy’ari telah mendasarkan pemikiran sufismenya kepada ajaran sufi Islam murni yang diformulasikan dan dipraktikan oleh Al-Junaidi Al-Baghdadi dan Imam Al-Ghazali. Berbeda dengan muslim modernis yang cenderung menolak segala jenis praktik sufisme yang dianggap menyimpang dari kemurnian Islam, sebab membuat bid’ah dalam ibadah dan mendorong kepada kemusyrikan. Sedangkan muslim tradisional menganggap sebagian persaudaraan sufi masih dalam bingkai Islam, artinya membolehkan jenis praktik sufisme19. Persaudaraan-persaudaraan sufi ini diakui dalam struktur organisasi Nahdlatul Ulama sebagai badan otonom dalam At-Tariqat Al- Mu’tabarah Al-Nahdliyah (Persaudaraan sufi Nahdlatul Ulama yang lurus), badan ini sebagian besar terdiri atas sufi Qadariyah dan Naqshabandiyah. Menurut Bruinessen, kebanyakan pesantren di Jawa telah mengembangkan Islam murni selama berabad-abad dan menghindari paham sufi yang sesat. Bahkan pesantren-pesantren di Jawa ini merupakan pusat dari pengembangan Islam murni sampai saat ini, sedangkan di luar Jawa, doktrin-doktrin sufi spekulatif masih berkembang.20

Berdasarkan uraian di atas, pemikiran KH. Hasyim Asy’ari di bidang tasawuf mengikuti sufi ortodoks yang telah dirumuskan oleh Imam Junaidi Al-Baghdadi dan Imam Al-Ghazali. Jenis sufi ini penekanannya terhadap peningkatan nilai-nilai moral dan kesalehan dengan jalan melaksanakan ajaran-ajaran yang dibawa Nabi Muhammad Saw. Sufi yang diajarkan beliau bukanlah yang menjurus ke panteistik dan syirik melainkan sesuai dengan ajaran-ajaran Islam Sunni. KH. Hasyim Asy’ari juga mencoba untuk

 

 

  
 


 

18 Fazlur Rahman (ed), “Revival and Reform in Islam. In Cambridge History of Islam,” vol. 2 (Cambridge: Cambridge University Press, 1970).

19 Abdullah Hakam, ‘KH. Hasyim Asy’ari Dan Urgensi Riyadah Dalam Tasawuf Akhlaqi’, Teosofi: Jurnal Tasawuf Dan Pemikiran Islam 4, no. 1 (June 2014): 149, https://doi.org/10.15642/teosofi.2014.4.1.145-166.

20 Martien Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren Dan Tarekat (Bandung: Mizan, 1995).


 

mengurangi akibat negatif dari praktik sufi dengan menekankan adanya persayaratan- persayaratan tertentu bagi orang yang ingin mempraktikan ajaran sufi.

b.      Teologi (Tauhid) dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah

 

Dalam pemikiran teologi KH. Hasyim Asy’ari menulis kitab mengenai ahlus sunnah wal jama’ah bertajuk Ar-Risalah At-tauhidiyyah (tentang teologi) dan Al-Qala’id fi Bayani ma Yajib minal ‘Aqa’id (mengenai kewajiban-kewajiban menurut akidah yang dijelaskan dalam syair-syair). KH. Hasyim Asy’ari menjelaskan bahwa dalam meyakini keesaan Tuhan ada tiga tingkatan, Pertama, pujian terhadap keesaan Tuhan (biasanya ini yang dimiliki orang-orang awam). Kedua, meliputi pengetahuan dan pengertian mengenai Tuhan (dimiliki oleh ulama biasa/ahlu zahir). Ketiga, tumbuh dari perasaan terdalam (hanya bisa dimiliki oleh para sufi yang tingkatannya sampai ke pengetahuan pada Tuhan/ma’rifah dan mengetahui esensi Tuhan/haqiqah).21

Tentang paham ini KH. Hasyim Asy’ari mengutip sabda Nabi Saw, bahwa iman adalah perbuatan yang paling dicintai Tuhan (Allah SWT), dan menyekutukan Tuhan Allah SWT hal yang dibenci. Menjelaskan juga dari beberapa ulama, bahwa percaya kepada keesaan Tuhan membutuhkan iman dan siapa saja tidak memiliki iman tidak akan percaya kepada keesaan Tuhan. Oleh sebab itu, KH. Hasyim Asy’ari mencela paham Komunisme dalam pidato Muktamar NU ke-17 24 Mei 1947 yang intinya “ia sangat khawatir atas kepercayaan paham Komunis akan membahayakan generasi penerus bila tertanam, karena dapat merusak kepercayaan mereka pada Islam itu sendiri”, sehingga bagi KH. Hasyim Asy’ari, Islam tidak saja berusaha membebaskan manusia dari menyembah lebih dari satu Tuhan dan membimbing mereka untuk menyembah satu Tuhan (Tauhid), tetapi memajukan juga dalam aspek sosial, politik dan ekonomi masyarakat terbelakang. Selain itu, Islam juga berusaha memupuk semangat persaudaraan Islam dengan menghilangkan perbedaan yang disebabkan oleh keturunan, posisi kekayaan atau kebangsaan.22 Ia juga menjelaskan tentang persaudaraan Islam merupakan dasar dari demokrasi yang sangat menghargai kemanusiaan hal ini telah diperkenalkan sejak awal perkembangan Islam.

 

 

 

  
 


 

21 Muhaemin, ‘Teologi Aswaja Nahdhatul Ulama Di Era Modern: Studi Atas Pemikiran Kyai Hasyim Asy’ari’, Jurnal Diskursus https://doi.org/10.24252/jdi.v1i2.6634.

22 Khuluq, Tafsir Pemikiran Kebangsaan Dan Keislaman Hadratussyaikh K.H. M. Hasyim Asy’ari, 60.


 

Dengan menjaga persaudaraan Islam (Ukhwah Islamiyah), ketidakadilan akan menghilang dari masyarakat.23

Sejalan dengan ide-ide teologi KH. Hasyim Asy’ari, Achmad Shiddiq (1979) mengatakan bahwa dalam akidah muslim harus menerapkan konsep tawassut (moderat), artinya keseimbangan antara penggunaan pemikiran rasional dan dalil-dalil teks al-Qur’an dan as-Sunnah. Keseimbangan ini dapat dicapai dengan menjaga keaslian doktrin Islam dari pengaruh-pengaruh luar dan menghindari dari mencap/melabeli muslim lain sebagai kafir atau sebagainya, walaupun mereka belum memurnikan kepercayaannya. Dengan begitu, keseimbangan antara iman dengan pikiran merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari dasar-dasar ajaran Islam (ushuluddin).24

Pemikiran teologi KH. Hasyim Asy’ari tersebut sejalan dengan pemikiran tradisional berdasarkan formulasinya Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al Maturidi.25 Maka, formulasi ini bagian dari Sunisme yang berusaha menjembatani antara mereka yang mendukung kebebasan berkehendak dan yang berpedoman pada fatalisme, sehingga teologi Al-Asy’ari ini dapat dianggap sebagai sintesis diantara berbagai sekte- sekte teologi.26 Lagi pula, dengan mendasarkan pada kombinasi pikiran dan wahyu dalam menyelesaikan masalah-masalah teologi, paham Asy’ariyah telah menyelamatkannya dari ancaman Hellenisasi.27

Menurut KH. Hasyim Asy’ari, para ulama ahlussunnah wal jama’ah adalah para ulama yang kompeten dalam bidang tafsir Al-qur’an, Sunnah Rasul, dan fiqh yang tunduk pada tradisi Rasul dan Khulafaur Rasyidin.28 KH. Hasyim Asy’ari selanjutnya menyatakan bahwa sampai sekarang ulama tersebut yang mengikuti empat mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Paham ini diterapkan dalam ormas NU yang menyatakan sebagai pengikut, penjaga dan penyebar ahlussunah wal jama’ah29.

  
 


 

23 Budi Harianto, ‘Relasi Teologi Aswaja Dengan Ham Perspektif Kiai Said Aqil Siroj’, HUMANISTIKA : Jurnal Keislaman https://doi.org/10.36835/humanistika.v4i2.34. 4,

24 Achmad Shiddiq, Khithttah Nadliyah (Surabaya: Balai Buku, 1979), 41.

25 Zainal Arifin and Muhammad Fathoni, “Jejak Pemikiran Syaikh Nawawi Al-Banteni Terhadap Pemikiran Teologi, Fiqih Dan Tasawuf Hadratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari,” Al Qodiri : Journal Education, Social and Religious https://doi.org/10.1234/al%20qodiri.v16i1.3313.

26 Ahmad Najib Burhani, “Al-Tawassut Wal-I’tidal: The NU and Moderatism in Indonesia Islam”, Asian Journal of Social Science https://doi.org/10.1163/15685314-12341262.

27 N.U (Organisasi), Aswaja An-Nahdliyah: Ajaran Ahlussunah Wal Jama’ah Yang Berlaku Di Lingkungan Nahdlatul Ulama (Surabaya: Khalista, 2007), 13.

28 Asmani Jamal Ma’aruf (ed), Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari Tentang Agama, Perempuan Dan Kemasayarakatan (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2018).


 

NU menerima paham ini karena sesuai dengan tujuan-tujuan NU sendiri khususnya berkaitan dengan membangun hubungan ulama Indonesia, yaitu mengikut salah satu dari empat mazhab Sunni dan menjaga kurikulum pesantren agar sesuai dengan prinsip-prinsip ahlussunah wal jama’ah, yang berarti mengikuti ajaran Nabi Muhammad Saw dan kesepakatan para ulama. Menurut Michael Laffan, ahlussunah wal jama’ah itu muslim yang konsisten dan dengan kuat berpegang teguh pada Sunnah Nabi dan jalan hidup dari para Sahabat di bidang doktrin, praktik, dan etika. Semua organisasi Islam selain NU dapat disebut ahlussunah wal jama’ah, apabila mereka memenuhi kriteria tersebut. Maka, apabila tidak sejalan dengan doktrin ini hal tersebut dianggap tidak sesuai dengan prinsip-prinsip ahlussunah wal jama’ah.30

Pada dasarnya dalam pemikiran KH. Hasyim Asy’ari menggunakan istilah ahlussunah wal jama’ah digunakan untuk melindungi dari gerakan-gerakan pembaruan yang dilancarkan oleh muslim modernis. Namun, tidaklah semena-mena menentang pembaruan, bahkan selalu berusaha menghilangkan penyimpangan dan keraguan dalam memahami al-Qur’an dan Sunnah Rasul.31 Selain itu, gerakan ini bukan sebagai reaksi atas sekte-sekte sesat seperti Syiah, Khawarij dan Muktazilah, melainkan sudah ada sejak era Nabi Muhammad Saw. Dalam kenyataannya, ada tiga ciri perilaku dan kepercayaan ahlussunnah wal jama’ah pada saat itu bahkah masih ada sampai saat ini: Pertama, at-tawasut yang berarti moderat. Artinya seorang muslim harus berbuat secara moderat/ambil jalan tengah dalam kehidupan. Kedua, al-i’tidal berarti tegak lurus. Maksudnya menjadi seorang muslim harus menegakkan keadilan atau menegakkan kebenaran dalam kehidupannya. Ketiga, at-tawazun berarti seimbang. Artinya seorang muslim harus menunjukkan keseimbangan dalam perbuatannya.32

Dengan demikian, dalam teologi, KH. Hasyim Asy’ari berpegang pada formulasinya Al-Asy’ari dan Al-Maturidi yang menurutnya dianggap teologi terbaik. Seorang muslim yang memahami pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tentang teologi juga akan menggunakan formulasi teologi yang sama dengan KH. Hasyim Asy’ari sebagaimana

  
 


 

29 Ahmad Choirul Rofiq, ‘Argumentasi Hasyim Asy’ari Dalam Penetapan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Sebagai Teologi Nahdlatul Ulama’, Jurnal Kontemplasi 5, no. 1 (Agustus 2017): 40, https://doi.org/10.21274/kontem.2017.5.1.

30 Michael Laffan, ‘The Fatwa Debated ? Shura in One Indonesia Context,” Islamic Law and Society’, Islamic Law and Society 12, no. 1 (June 2005): 18, https://doi.org/10.1525/sp.2007.54.

31 Fauzan Saleh, ‘The School of Ahl Al-Sunnah Wa Al-Jama’ah And The Attachment of Indonesian Muslims to Its Doctrines’, Journal of Indonesian Islam 2, no. 1 (June 2008): 30, https://doi.org/10.15642/JIIS.2008.2.1.

32 Khuluq, Tafsir Pemikiran Kebangsaan Dan Keislaman Hadratussyaikh K.H. M. Hasyim Asy’ari, 67.


 

kaum muslimin yang tergabung dalam organisasi NU, yang selalu berpegang teguh pada pemikiran KH. Hasyim Asy’ari. Selanjutnya, istilah ahlussunah wal jama’ah KH. Hasyim Asy’ari telah mempercayai kebenaran doktrin ini dengan prinsip mengikuti jalan Nabi Muhammad Saw dan Khulafaur Rasyidin sebagaimana yang dijalankan oleh empat Mazhab Sunni. Oleh karena itu KH. Hasyim Asy’ari mengikuti tradisi Sunni.

c.       Fiqh

 

Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tentang fiqh yang paling menonjol adalah tentang ijtihad dan taqlid, menurutnya hal yang sangat penting yaitu mengikuti salah satu dari empat mazhab sunni (mazahib). KH. Hasyim Asy’ari menjelaskan tentang ini dan hal-hal lainnya di dalam Muqaddimat al-Qanun al-Asasi al-Nahdlah al-‘Ulama (pengantar terhadap aturan-aturan dasar Nahdlatul Ulama), menurut Bruinessen (1999) kitab ini merupakan hasil dari ijtihad KH. Hasyim Asy’ari bersama ulama lainnya, yang berdasarkan Al-qur’an dan Sunnah Rasul.33

Ijtihad disini merupakan sarana paling efektif untuk mendukung tetap tegak dan eksistensinya hukum Islam serta menjadikan sebagai tatanan hidup yang up to date agar dapat menjawab tantangan zaman.34 Sedangkan taqlid adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui sumber atau alasannya. Seperti seseorang telah mengikuti pendapat Imam Syafi’i tanpa mengetahui dalilnya atau hujjahnya, orang seperti ini disebut Muqallid.35 Keduanya ini harus berkaitan, taqlid untuk mengisi kekosongan ketika ijtihad tidak bisa diterapkan. Kalau tidak, itu akan menjadi beban yang tidak semestinya untuk meminta semua orang menjadi seorang mujtahid (orang yang melakukan ijtihad).36

Dengan demikian, taqlid disini awalnya dilarang, menjadi boleh apabila seseorang tidak mampu untuk berijtihad dan menggunakan potensi akalnya dalam memahami nash-nash Al-qur’an dan As-Sunnah. Hal ini sejalan dengan pemikiran KH. Hasyim Asy’ari mengenai larangan taqlid hanya ditujukan kepada seseorang yang sehingga KH. Hasyim Asy’ari berpendapat bagi siapa saja yang tidak mampu melakukan ijtihad maka harus

  
 


 

33 Martin Van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (Yogyakarta: LKiS), 37.

34 Mudrik Al-Farizi, ‘Ijtihad, Taqlid Dan Talfiq’, Al-Mabsut Jurnal Studi Islam Dan Sosial 8, no. 1 (April 2014): 215.

35 Abdurrahman Misno, ‘Redefinisi Ijtihad Dan Taklid’, Al-Mashlahah Jurnal Hukum Dan Pranata Sosial Islam 2, no. 4 (Desember 2014): 19, https://doi.org/10.30868/am.v2i04.133.

36 Mohamed A. Abdelaal, ‘Taqlīd V. Ijtihād: The Rise Of Taqlid As The Secondary Judicial Approach In Islamic Jurisprudence’, The Journal Jurisprudence 5, no. 4 (2012).


 

mengikuti salah satu dari empat mazhab. Sebaliknya jika para mujtahid dilarang bertaqlid pada hasil ijtihad hukum orang lain.

Pendapat tersebut dipegang oleh organisasi NU yang terus menekankan bahwa persyaratan melakukan ijtihad tidaklah sederhana. Meskipun demikian, NU menganjurkan para anggotanya untuk meningkatkan pengetahuan agama mereka agar meningkat dari status taqlidnya. Organisasi NU menganggap bahwa untuk orang biasa yang tidak mampu melakukan ijtihad, diperbolehkan bertaqlid pada salah satu dari empat mazhab Sunni (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) sebab, sebagaimana yang disabdakan Rasul bahwa perbedaan pendapat di kalangan masyarakat muslim adalah rahmat dan memaksakan suatu pendapat dibenci Tuhan.

KH. Hasyim Asy’ari menjelaskan bahwa mengikuti salah satu empat mazhab Sunni itu bermanfaat bagi umat Islam, karena setiap generasi ulama mengambil manfaat dan mengembangkan pemahaman keislamannya dari usaha generasi pendahulunya. Seperti para tabi’in bersandar kepada para sahabat, sementara para tabi’at tabi’in bersandar kepada tabi’in dan seterusnya. Inilah pentingnya sanad keIlmuan. Oleh karena itu, penyandaran terus menerus dan penerimaan ilmu pengetahuan dan generasi pendahulu ini merupakan sumber informasi yang tak habis-habisnya bagi para ilmuwan muslim. Hal ini terutama mengingat ajaran Islam tidak dapat dipahami kecuali dengan wahyu (naqli) atau sistem pengambilan hukum tertentu (istinbath). Wahyu harus secara terus menerus diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui teks, sedangkan istinbath harus dilaksanakan dengan bantuan ajaran-ajaran mazhab hukum.

Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dalam fiqh siyasah (tata cara politik dalam Islam),37 bahwa fiqh siyasah bisa dikatakan sebagai ilmu politik pemerintahan dan ketatanegaraan dalam Islam yang mengkaji aspek-aspek yang berkaitan dengan dalil-dalil umum dalam Al-qur’an dan hadits serta tujuan dalam syariat. Pada saat itu KH. Hasyim Asy’ari harus aktif ikut campur dalam urusan kenegaraan, sebab ia khawatir terhadap bangsa Indonesia yang akan terpecah belah. Maka, sikap yang diambil KH. Hasyim Asy’ari adalah ajakan kepada seluruh umat Islam Indonesia untuk bersatu dalam aksi bersama.38 Menurut KH.Hasyim Asy’ari menerangkan bahwa perpecahan merupakan penyebab

  
 


 

37 Syaiful Hidayat, ‘Tata Negara Dalam Perspektif Fiqh Siyasah’, Tafaqquh 1, no. 22 (April 201113): 10.

38 Khusnul Chotimah, ‘Aktualisasi Pemikiran KH. M. Hasyim Asy’ari Kenegaraan Dan Kebangsaan’, Jurnal Inovatif 3, no. 2 (July 2018): 131.


 

kelemahan, kekalahan, dan kegagalan di sepanjang zaman. Bahkan, pangkal kehancuran dan kemacetan, sumber keruntuhan dan kebinasaan, dan penyebab kehinaan dan kenistaan.

Ajakan persatuan tersebut disampaikan di berbagai kesempatan mengingat kondisi umat yang terpecah belah ketika itu, dan dibutuhkannya akan persatuan yang mendesak bagi Indonesia. Menurut Nizar alasan ajakan persatuan berdasarkan Pertama, persatuan kebangsaan yang artinya persatuan yang dilandasi dengan kesamaan kebangsaan. Kedua, persatuan keagamaan yaitu persatuan yang dilandasi kesamaan agama. Dengan demikian, pemikiran KH. Hasyim Asy’ari mengenai ajakan persatuan dimaksudkan dalam ruang lingkup negara, tujuannya agar cita-cita kebangsaan yang diinginkan dapat terwujud.39

3.  Pemikiran Etika Keilmuan KH. M. Hasyim Asy’ari

 

a)     Etika pelajar dalam pembelajaran

Etika pelajar menurut pandangan KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab Adab al Alim wa al Muta’allim menyajikan sebuah konsep bahwa dalam menuntut ilmu, pelajar dianjurkan untuk tekun dan fokus, memberikan perhatian yang serius untuk mencapai keberhasilan proses belajar. Memberi penghormatan yang tinggi kepada guru, karena guru adalah seseorang yang telah berjasa mengarahkan dan membimbing pelajar dalam menuntut ilmu, serta bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu dan sebisa mungkin dapat mengamalkan ilmunya ketika sudah selesai mencari ilmu.

Substansi dari konsep etika peserta didik yang ditawarkan dan ditampilkan oleh KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab Adāb al- ‘Ālim wa al-Muta’allim terbagi kedalam beberapa bagian yang mendasar pada hal-hal elementer yang berkaitan tentang etika peserta didik dalam dunia pendidikan. Seperti keberadaan peserta didik itu sendiri dan etika yang seharusnya melekat pada dirinya yang nantinya akan berlanjut kepada bagaimana beretika terhadap guru, etika belajar yang benar, dan tata cara terhadap pelajaran (ilmu pengetahuan) serta terhadap kitab atau buku pelajaran. KH. Hasyim Asy’ari memberikan konsep atau tata cara beretika sebagai seorang peserta didik yang baik. Melihat gagasan-gagasan yang ditawarkan di atas, nampak jelas nuansa kesufian

  
 


 

39 Muchamad Coirun Nizar, ‘Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tentang Persatuan’, Endogami: Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi https://doi.org/10.14710/endogami.1.1.68. 1, no. 1 (Desember 2017): 63–74,


 

  dalam diri Hasyim Asy’ari. Menurut beliau tujuan pendidikan yang ideal adalah

 untuk membentuk masyarakat yang beretika tinggi (akhlaqul karimah).

 

Konsep etika peserta didik dalam pendidikan Islam yang ditulis KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab Adāb al-‘Ālim wa al-Muta’allim sarat dengan muatan-muatan sufistik meskipun tidak begitu detail. Pendapat-pendapat KH. Hasyim Asy’ari dipengaruhi oleh ajaran-ajaran tasawuf Imam Ghazali, ajaran fiqh Imam Syafi’i dan ajaran aqidah Islam Imam Al-Asy’ari. KH. Hasyim Asy’ari berpendapat bahwa ajaran sunni dengan metode ahlu alsunnah wa al-jama’ah dianggap sebagai tuntunan yang benar dan tidak menyesatkan.

Selain itu, konsep yang dikemukakan oleh KH. M. Hasyim Asy’ari tidak pernah lepas dari kristalisasi pemahamannya tentang konsep kebangsaan (keindonesiaan). Ia dalam hal ini dikenal luas sebagai tokoh yang sangat memahami dan menghargai tradisi- tradisi, termasuk tradisi lokal. Dengan demikian, jelas bahwa konsep pendidikan berbasis ajaran agama, tradisi dan akhlak mulia yang dikemukakan oleh KH. M. Hasyim Asy’ari memiliki relevansi yang cukup kuat dengan cita-cita pendidikan nasional yang begitu mengidealkan agar peserta didik dapat secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang dibutuhkan bagi dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.40

KH. M. Hasyim Asy’ari sangat menyadari bahwa situasi dan kondisi zaman senantiasa mengalami perubahan dari waktu ke waktu, dengan berbagai tantangan dan kebutuhan di dalamnya, baik yang bersifat positif maupun negatif. Oleh karenanya, untuk merespons hal ini, selain keharusan membentengi diri dan masyarakat dari pengaruh-pengaruh negatif dengan tetap berpedoman pada ajaran agama dan tradisi- tradisi agung masa lalu, KH. M. Hasyim Asy’ari juga memandang perlu menyiapkan dan membekali generasi sejak dini agar dapat berkiprah dan berkompetisi di dalam kehidupannya, dengan prinsip Al-muhafhadah ala kodimi sholeh, wal akhdu bi jadidil aslah.

 

 

 

  
 


 

40 Muhammad Kholil, Kode Etik Guru Dalam Pemikiran KH.Hasyim Asy’ari Studi kitab adab al alim wal muta’allim,Volume 1, Nomor 1


 

1)     Etika kepribadian seorang pelajar

a.       Seorang murid hendaknya membersihkan hati dari segala hal yang dapat mengotorinya seperti dendam, dengki, keyakinan yang sesat, dan prasangka yang buruk.

b.      Hendaknya memiliki niat yang baik dalam mencari ilmu, yaitu dengan bermaksud mendapatkan ridho Allah, mengamalkan ilmu, menghidupkan syari’at islam, menerangi hati dan mengindahkannya, dan mendekatkan diri kepada Allah. Jangan sampai berniat hanya ingin mendapatkan kepemimpinan, pangkat, dan harta; atau menyombongkan diri di hadapan orang; atau agar orang lain hormat kepadanya.

c.       Hendaknya segera mempergunakan masa muda dan umurnya untuk memperoleh ilmu, tanpa terpedaya oleh rayuan “menunda-nunda” dan “berangan-angan panjang,” sebab setiap detik yang terlewatkan dari umur tidak akan tergantikan.

d.      Harus menerima apa adanya (qana’ah) berupa segala sesuatu yang mudah ia dapat, baik itu berupa makanan atau pakaian dan sabar atas kehidupan yang berada dibawah garis kemiskinan yang ia alami ketika dalam tahap proses mencari ilmu, serta mengumpulkan morat-maritnya hati akibat terlalu banyaknya angan-angan dan keinginan, sehingga sumber-sumber hikmah akan mengalir kedalam hati.

e.       Pandai membagi waktu dan memanfaatkan sisa umur yang paling berharga. Waktu yang paling baik untuk hafalan ilmu adalah waktu sahur, untuk pendalaman ilmu di pagi buta, untuk menulis tengah hari, dan untuk belajar serta mengulangi pelajaran di waktu malam. Sedangkan tempat yang paling baik untuk menghafal adalah kamar dan tempat-tempat yang jauh dari gangguan. Tidak baik melakukan hafalan di depan tanaman, tumbuhan, sungai, dan tempat yang ramai.

f.        Makan dan minum sedikit, kenyang hanya akan mencegah ibadah dan bikin badan berat untuk belajar. Bersikap wara’ (menjahui perkara yang syubhat alias ‘tidak jelas’ halal haramnya) dan berhati-hati dalam segala hal. Memilih barang yang halal seperti makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan semua kebutuhan hidup supaya hatinya terang dan mudah menerima cahaya ilmu dan kemanfaatannya. Meminimalisir penggunaan makanan yang menjadi penyebab bebalnya otak dan lemahnya panca indera, seperti buah apel yang asam, buncis, dan cuka.


 

g.      Meminimalisir tidur selama tidak berefek bahaya pada kondisi tubuh dan kecerdasan otak. Tidak menambah jam tidur dalam sehari semalam lebih dari delapan jam.

h.      Meninggalkan pergaulan, karena  hal terpenting dilakukan seyogyanya untuk mencari ilmu, terutama pergaulan dengan lain jenis, dan ketika pergaulan lebih banyak main-mainnya serta tidak mendewasakan pikiran.

 

2)     Etika pelajar terhadap guru

a.       Berfikir yang mendalam kemudian melakukan shalat istikharah, kepada siapa ia harus mengambil ilmu dan mencari bagusnya budi pekerti darinya. Jika memungkinkan seorang pelajar, hendaklah memilih guru yang sesuai dalam bidangnya, ia juga mempunyai sifat kasih sayang, menjaga muru’ah (etika), menjaga diri dari perbuatan yang merendahkan martabat seorang guru.

b.      Patuh kepada gurunya dalam segala hal dan tidak keluar dari nasehat-nasehat dan aturan-aturannya. Bahkan, hendaknya hubungan antara guru dan muridnya itu ibarat pasien dengan dokter spesialis. Sehingga ia minta resep sesuai dengan anjurannya dan selalu berusaha sekuat tenaga untuk memperoleh ridhanya terhadap apa yang ia lakukan dan bersungguh sungguh dalam memberikan penghormatan kepadanya dan mendekatkan diri kepada Allah ta’ala dengan cara melayaninya.

c.       Memandang guru dengan pandangan bahwa dia adalah sosok yang harus dimuliakan dan dihormati serta berkeyakinan bahwa guru itu mempunyai derajat yang sempurna. Karena pandangan seperti itu paling dekat kepada kemanfaatan ilmunya. Abu Yusuf berkata: “Aku mendengar para ulama’ salaf berkata: “Barang siapa yang tidak mempunyai sebuah (I’tiqad) keyakinan tentang kemulyaan gurunya, maka ia tidak akan bahagia”.

d.      Hendaknya pelajar mengetahui kewajibannya kepada gurunya dan tidak pernah melupakan jasa-jasanya, keagungannya dan kemulyaannya, serta selalu mendoakan kepada gurunya, baik ketika beliau masih hidup atau setelah meniggal dunia. Pelajar sebaiknya meminta izin terlebih dahulu sebelum memasuki tempat non-umum (ruangan pribadi) yang di dalamnya ada pendidik, baik pendidik itu sendirian maupun bersama orang lain.

e.       Jika pelajar meminta izin dan pendidik mengetahui hal itu, namun tidak memberinya izin, maka hendaklah pelajar meninggalkan tempat dan tidak


 

mengulangi permintaan izinnya. Jika pelajar berdiam diri di tempat itu, maka tidak perlu berlama-lama kecuali jika diperintahkan oleh pendidik. Apabila pelajar menghadiri ruangan pendidik, sedangkan pendidik tidak sedang duduk, maka sebaiknya pelajar rela menunggu supaya dia tidak ketinggalan pelajaran; dan pelajar tidak boleh mengetuk pintu agar pendidik keluar dari ruangan.

f.        Apabila pelajar duduk dihadapan Pendidik (kyai), maka hendaklah ia duduk dihadapannya dengan budi pekerti yang baik, seperti duduk bersimpuh diatas kedua lututnya (seperti duduk pada tahiyat awal) atau duduk seperti duduknya orang yang melakukan tahiyat akhir, dengan rasa tawadlu’, rendah diri, thumakninah (tenang) dan khusyu’.

g.      Hendaknya pelajar berbicara dengan baik kepada pendidik semaksimal mungkin. Jika pelajar ingin mengetahui semua itu, maka sebaiknya pelajar bersikap pelan- pelan untuk melakukannya; dan yang lebih utama adalah menanyakan semua itu di majlis-majlis lain.

h.      Ketika Pendidik (guru) menyebutkan hukum suatu kasus, suatu pelajaran cerita, atau membacakan sya'ir; sedangkan pelajar sudah menghafalnya, maka hendaknya pelajar mendengarkan pendidik dengan seksama seolah-olah ingin mendapatkan pelajaran pada saat itu; menampilkan perasaan dahaga untuk mengetahui pelajaran itu; dan bergembira layaknya orang yang belum pernah mengetahui pelajaran itu sama sekali.

i.        Pelajar hendaknya tidak mendahului pendidik untuk menjelaskan suatu masalah atau menjawab suatu pertanyaan; begitu juga pelajar tidak boleh menjelaskan atau menjawab bersamaan dengan pendidik. Pelajar hendaknya tidak menampakkan pengetahuan atau pemahaman tentang hal itu. Apabila pendidik menyerahkan sesuatu kepada pelajar, maka sebaiknya pelajar menerimanya dengan tangan kanan.

j.        Jika pelajar mau menyerahkan lembaran kertas yang sedang dia pegang untuk dibaca, lembaran cerita maupun lembaran-lembaran tulisan syara' (teks-teks suci agama Islam), dan sejenisnya; maka hendaklah pelajar membuka lembaran lembaran dan mengangkatnya untuk diserahkan kepada pendidik.

 

 

 

b)    Etika pengajar dalam pembelajaran

Tidak hanya pelajar/ peserta didik yang dituntut untuk beretika, akan tetapi pendidik/pengajar juga wajib demikian adanya. Lagipula apalah artinya etika diterapkan kepada peserta didik, jika pengajar/ guru yang mendidiknya justru tidak memilikinya. Oleh karena itu, ia juga menawarkan beberapa etika yang harus dimiliki oleh seorang guru, antara lain: senantiasa mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah), senantiasa takut kepada Allah, senantiasa bersikap tenang, senantiasa khusyu, mengadukan segala persoalannya kepada-Nya, tidak menggunakan ilmunya untuk meraih keduniawian semata, tidak selalu memanjakan anak didik, berlaku zuhud dalam kehidupan dunia, menghindari berusaha dalam hal-hal yang rendah, menghindari tempat-tempat yang kotor dan tempat maksiat, mengamalkan sunnah nabi, meng-istiqamah-kan membaca al-Qur’an, bersikap ramah, ceria dan suka menaburkan salam, membersihkan diri dari perbuatan-perbuatan yang tidak disukai Allah, menumbuhkan semangat untuk menambah ilmu pengetahuan, tidak menyalahgunakan ilmu dengan cara menyombongkannya dan membiasakan diri menulis, mengarang dan meringkas.41

Kalau diamati, kriteria di atas memang tampak lebih dekat dengan nuansa tasawuf. Namun bukan berarti bahwa seorang guru harus mengasingkan diri (uzlah) dari hiruk pikuk duniawi layaknya para sufi zaman dulu. Seorang guru justru dituntut agar menyatu dengan masyarakat dan berusaha memberikan kontribusi baik berupa ide-ide atau penanganan dalam hal tertentu sesuai dengan apa yang ia bisa lakukan.

Seorang pendidik/guru ketika hendak mengajar perlu memperhatikan beberapa etika. Dalam hal ini, KH. Hasyim Asy’ari menawarkan gagasan tentang etika guru diantaranya adalah menyucikan diri dari hadas dan kotoran, berpakaian yang sopan dan rapi serta usahakan memakai minyak wangi, berniat beribadah ketika dalam mengajarkan ilmu kepada anak didik; sampaikan hal-hal yang diajarkan oleh Allah, biasakan membaca untuk menambah ilmu pengetahuan, berilah salam ketika masuk ke dalam kelas; sebelum mengajar mulailah terlebih dahulu dengan berdoa untuk para ahli ilmu yang telah lama meninggal dunia, berpenampilan yang kalem, hamble dan jauhi hal-hal yang tidak pantas dipandang mata, menjauhkan diri dari bergurau dan banyak tertawa, jangan sekali-kali mengajar dalam kondisi lapar, marah, mengantuk dan sebagainya.42

  
 


 

41 Hasyim Asy`ari, Adab al-`Alim wa al-Muta`allim (Jombang: Maktabah al-Turats al-Islami, 1415 H).

42 Ibid.

 

Selain itu, ia juga menganjurkan hal yang tak kalah penting berkaitan dengan proses belajar mengajar,  beberapa di antaranya ialah selalu melakukan introspeksi diri, mempergunakan metode yang mudah dipahami bagi peserta didik, membangkitkan

antusias peserta didik dengan memotivasinya, memberikan latihan-latihan yang bersifat membantu, dan sebagainya.43

Terlihat bahwa apa yang ditawarkannya lebih bersifat teknis. Artinya, hal itu berangkat dari praktik yang selama ini dialaminya. Inilah yang memberikan nilai plus tersendiri pada konsep yang dikemukakan oleh bapaknya para santri (KH. M. Hasyim Asy’ari ini. Kehidupannya yang diabdikan untuk ilmu dan agama telah memperkaya pengalamannya dalam mengajar.44 Ia memperhatikan hal-hal sampai detail, yang kelihatannya sangat sepele, seperti cara menegur dan mengajarkan kepada anak didik yang datang terlambat.

Lebih jauh, bila di atas tadi begitu menonjol nuansa tasawuf, khususnya ketika membahas tentang tugas dan tanggung jawab seorang pendidik maka dalam bagian ini terlihat sisi profesionalitas KH. Hasyim Asy’ari dalam kapasitasnya sebagai pendidik. Hal ini dapat dilihat dari rangkuman gagasan yang dilontarkannya tentang kompetensi seorang guru. Padahal saat ia menyusun kitab ini, ilmu pendidikan maupun psikologi jelas belum begitu berkembang seperti sekarang, apalagi di kalangan pesantren. Sehingga ke-genuin-an pemikirannya patut untuk dikembangkan selaras dengan kemajuan dunia pendidikan, khususnya psikologi pendidikan.

Dalam interaksi edukatif, peserta didik dan pendidik senantiasa berdialog. Kita menemukan sesuatu yang merupakan hakikat dari dialog, yaitu kata. Di dalam kata menemukan dua dimensi, yakni refleksi dan tindakan. Dialog ditempatkan pada posisi yang sangat strategis, sebagai aktualisasi perintah al-Qur’an yang memerintah untuk menggunakan akal. Dalam bingkai pendidikan interaksi edukatif sering terjadi antara peserta didik dan pendidik.

 

 

 

 

  
 


 

43 Ibid.

44 Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan …, h. 165-166.

 

 

 

Pandangan KH. Hasyim Asy’ari di atas, tampak relevansinya bila dibandingkan dengan pendidikan modern di Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai (agama) dan norma-norma (susila). Maka, tawaran etika pendidik tersebut telah memberikan implikasi besar terhadap pendidikan Islam di Indonesia.

 

                Jika kita tarik benang merah dari pembahasan pemikiran keislaman dan etika

keilmuanya KH. Hasyim  Asy’ari tersebut, maka kita akan sampai pada titik kesadaran

berjamaah, dan seraya menyimpulkan bahwa beliau adalah benar-benar tokoh yang par-

excellence,  seorang pemikir, pendidik, penggerak peradaban, tokoh, ilmuwan, ulama sufi yang

wara’i, penulis yang produktif, petani dan  negarawan sejati.

Beliau juga sebagai pencetus Islam washotiyah,  pendiri NU dan menggagas resolusi

jihad untuk mempertahankan  harga diri kemerdekaan dari para penjajah. Wajar dan sangat

pantas negara Indonesia menyematkan beliau sebagai Pahlawan Nasional dan sekaligus

waliyullah,  mahbarohnya tidak pernah berhenti diziarahi. Harum namanya semerbak mewangi

tidak habis-habisnya dibahas dan dikaji karya dan pemikirannya, Jasadnya boleh tiada  tapi ide,

pemikiran, perjuangan dan ajarannya masihlah ada dan hidup selamanya.

 

 

Waallahu’alam.

 

C.      Kesimpulan

 

Kesimpulan  dari rumusan halaqoh pemikiran KH. Hasyim Asy’ari  sebagai berikut :

KH. Hasyim Asy’ari mempunyai pemikiran dan peranan yang cukup besar dalam berbagai hal, diantaranya di bidang keislaman dan kebangsaan. Mengenai pemikiran keislaman KH. Hasyim Asy’ari, ia mempunyai pemikiran keislaman yang bercorak pada Islam tradisional, diantara pemikiran keislaman KH. Hasyim Asy’ari adalah dalam bidang tasawuf (sufisme)  Imam Junaidi Al-Baghdadi dan Imam Al-Ghazali, bidang teologi (ahli sunah wal jamaah) Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, dan bidang fiqh menganut faham empat mazhab. Pemikiran keislaman KH. Hasyim Asy’ari sampai saat ini patut dijadikan inspirasi,  diteladani, diaktualkan dan diamalkan untuk kehidupan saat ini.

Pemikiran KH. Hasyim As’ari tentang etika keilmuan mencakup dua aspek, yaitu kode etik bagi seorang pendidik dan bagi peserta didik (pelajar). Menurutnya, tujuan pendidikan pada setiap manusia adalah untuk menjadi insan paripurna agar semakin dekat dengan Sang Pencipta dan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Dalam kitab Adab al-Alim wa al- Muta’alim, KH. M. Hasyim Asy’ari menyebutkan nilai etis moral harus menjadi desain besar orang hidup di dunia. Sehingga seorang pencari ilmu mengejawantahkan ilmunya dalam kehidupan keseharian dengan perilaku hidup tawakkal, wara’, beramal dengan mengharap ridha Allah semata, bersyukur, ikhlas dan sebagainya.

            Pandangan dan gagasannya KH. Hasyim Asy’ari masih sangat relevan dan profesional sejalan dengan perkembangan psikologi pendidikan modern sekarang ini, jauh pemikirannya melewati  pada masanya. Seperti pembahasan tentang  tugas dan tanggung jawab bagi seorang peserta didik dan pendidik begitu pula hubungan sebaliknya,  sangat detail dan profesinal membahas tahap demi tahap tentang kopetensi guru dan murid begitupun sebaliknya.    Padahal perkembangan iptek dan  ilmu pendidikan saat itu belumlah masive dan modern seperti saat ini.

            KH. Hasyim  Asy’ari, adalah tokoh par-excellence seorang pemikir, penggerak, tokoh, ilmuwan, ulama sufi yang wara’i, penulis  produktif, petani dan  negarawan sejati. Pencetus Islam washotiyah,  pendiri NU dan menggagas resolusi jihad untuk mempertahankan  harga diri kemerdekaan dari para penjajah. Wajar dan pantas beliau jadi Pahlawan Nasional dan sekaligus waliyullah, namanya harum semerbak mewangi selalu dikenang, makamnya tidak pernah berhenti diziarahi. Jasadnya telah tiada tapi ide, pemikiran, perjuangan dan ajarannya masihlah hidup.


 

DAFTAR PUSTAKA

 

A’dlom, Syamsul, “Kiprah KH. Hasyim Asy’ari dalam Mengembangkan Pendidikan Agama

Islam,” JURNAL PUSAKA 2, no. 1 (February 2014):

 

Akarhanaf, Kiai Hasjim Asy’ari Bapak Umat Islam Indonesia (Jombang: Pesantren Tebuireng, 1950),

Al-Farizi, Mudrik, ‘Ijtihad, Taqlid Dan Talfiq’, Al-Mabsut Jurnal Studi Islam Dan Sosial 8, no. 1 (April 2014):

A. Abdelaal, Mohamed, ‘Taqlīd V. Ijtihād: The Rise Of Taqlid As The Secondary Judicial Approach In Islamic Jurisprudence’, The Journal Jurisprudence 5, no. 4 (2012).

Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan …,

Burhani, Ahmad Najib, “Al-Tawassut Wal-I’tidal: The NU and Moderatism in Indonesia Islam”, Asian Journal of Social Science https://doi.org/10.1163/15685314- 12341262.

Chotimah, Khusnul, ‘Aktualisasi Pemikiran KH. M. Hasyim Asy’ari Kenegaraan Dan Kebangsaan’, Jurnal Inovatif 3, no. 2 (July 2018):

Coirun Nizar, Muchamad, ‘Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tentang Persatuan’, Endogami: Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi https://doi.org/10.14710/endogami.1.1.68. 1, no. 1 (Desember 2017):

Choirul Rofiq, Ahmad, ‘Argumentasi Hasyim Asy’ari Dalam Penetapan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Sebagai Teologi Nahdlatul Ulama’, Jurnal Kontemplasi 5, no. 1 (Agustus 2017):  40,  https://doi.org/10.21274/kontem.2017.5.1.

Hakam, Abdullah, ‘KH. Hasyim Asy’ari Dan Urgensi Riyadah Dalam Tasawuf Akhlaqi’, Teosofi: Jurnal Tasawuf Dan Pemikiran Islam 4, no. 1 (June 2014): 149, https://doi.org/10.15642/teosofi.2014.4.1.145-166.

Harianto, Budi, ‘Relasi Teologi Aswaja Dengan Ham Perspektif Kiai Said Aqil Siroj’, HUMANISTIKA :                                                                     Jurnal                                          Keislaman https://doi.org/10.36835/humanistika.v4i2.34.  4,

Hidayat, Syaiful, ‘Tata Negara Dalam Perspektif Fiqh Siyasah’, Tafaqquh 1, no. 22 (April 201113):

Herry, Mohammad, Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20 (Jakarta: Gema Insani, 2006),


 

Hadziq, Muhammad Isham (ed), At-Ta’rif Bi al-Muallif. Dalam Hasyim Asy’ari, Adab al- Alim Wa al-Muta’allim (Jombang: Maktabat al-Turats al-Islami, 1995),

Khuluq, Lathiful, ‘K.H. Hasyim Asy’ari’s Contribution to Indonesian Independence’, Studia Islamika 5, no. 1 (April 1998): 46, https://doi.org/10.15408/sdi.v5i1.760.

Khuluq, Lathiful, Fajar kebangunan ulama: biografi K.H. Hasyim Asy’ari, Cet. VI (Yogyakarta: LKiS, 2013),

Khuluq, Lathiful, Tafsir Pemikiran Kebangsaan Dan Keislaman Hadratussyaikh K.H. M. Hasyim Asy’ari (Jombang, Jawa Timur: Penerbit dan distribusi, Penerbit Tebuireng, 2018),

Kholil, Muhammad, Kode Etik Guru Dalam Pemikiran KH.Hasyim Asy’ari Studi kitab adab al alim wal m Hasyim Asy`ari, Adab al-`Alim wa al-Muta`allim (Jombang: Maktabah al-Turats al-Islami, 1415 H).

Laffan, Michael, ‘The Fatwa Debated ? Shura in One Indonesia Context,” Islamic Law and Society’, Islamic Law and Society 12, no. 1 (June 2005): 18, https://doi.org/10.1525/sp.2007.

Margono, Hartono, ‘KH. Hasyim Asy’ari dan Nahdlatul Ulama: Perkembangan Awal dan

Kontemporer’ 26, no. 3 (Juli 2011):

Misrawi, Zuhairi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari: Moderasi, Keumatan, Dan Kebangsaan

(Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010),

Muhammad Rijal Fadli dan Bobi Hidayat, KH. Hasyim Asy’ari Dan Resolusi Jihad Dalam Usaha Mempertahank an Memerdekaan Indonesia (Metro, Lampung: Laduny Alifatama, 2018),

Madjid, Nurcholis, Islam, Iman Dan Ihsan Sebagai Trilogi Ajaran Islam (Jakarta: Yayasan Paramadina, 1994

Muhaemin, ‘Teologi Aswaja Nahdhatul Ulama Di Era Modern: Studi Atas Pemikiran Kyai

Hasyim Asy’ari’, Jurnal Diskursus https://doi.org/10.24252/jdi.v1i2.6634.

Ma’aruf, Asmani Jamal, (ed), Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari Tentang Agama, Perempuan

Dan Kemasayarakatan (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2018).

Misno, Abdurrahman, ‘Redefinisi Ijtihad Dan Taklid’, Al-Mashlahah Jurnal Hukum Dan Pranata Sosial Islam 2, no. 4 (Desember 2014): 19, https://doi.org/10.30868/am.v2i04.133.


 

N.U (Organisasi), Aswaja An-Nahdliyah: Ajaran Ahlussunah Wal Jama’ah Yang Berlaku Di Lingkungan Nahdlatul Ulama (Surabaya: Khalista, 2007),

Rifai, Muhamad, K.H. Hasyim Asy’ari: Biografi Singkat, 1871-1947, Cet. 1 (Yogyakarta:

Garasi : Didistribusikan oleh ar-Ruzz Media, 2009).

Rahman, Fazlur (ed), “Revival and Reform in Islam. In Cambridge History of Islam,” vol. 2

(Cambridge: Cambridge University Press, 1970).

Shiddiq, Achmad Khithttah Nadliyah (Surabaya: Balai Buku, 1979),

Saleh, Fauzan, ‘The School of Ahl Al-Sunnah Wa Al-Jama’ah And The Attachment of Indonesian Muslims to Its Doctrines’, Journal of Indonesian Islam 2, no. 1 (June 2008): 30, https://doi.org/10.15642/JIIS.2008.2.1.

Van Bruinessen, Martien, Kitab Kuning, Pesantren Dan Tarekat (Bandung: Mizan, 1995).

Van Bruinessen, Martin, NU, Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru

(Yogyakarta: LKiS),

Zutas, Kambali, “Literacy Tradition in Islamic Education in Colonial Period (Sheikh Nawawi al Bantani, Kiai Sholeh Darat, and KH Hasyim Asy’ari),” Al-Hayat 1, no. 1 (Oktober 2017):  16–31,   https://alhayat.or.id/index.php/alhayat/article/view/2.

Zainal Arifin and Muhammad Fathoni, “Jejak Pemikiran Syaikh Nawawi Al-Banteni Terhadap Pemikiran Teologi, Fiqih Dan Tasawuf Hadratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari,” Al Qodiri : Journal Education, Social and Religious https://doi.org/10.1234/al%20qodiri.v16i1.3313.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kata Pengantar

 

 

            Assalamu’alaikum wr. Wb.

            Bismilah, alhamdulilah, lahaula wala quata billah

            Allahumma sholi ala syaiidina Muhammad waala alihi wa sohbihi ajma’in.

            Ama’ba’du.

 

                                   Yang terhormat, Ketua Presnas Ikapete Nasional beserta Jajaran, Ketua PW/PC Ikapete se-Indonesia,  yang   terhormat, Para Kiayi, Tokoh, Undangan dan simpatisan, hadirin yang berbahagia.

                      Puji syukur kita panjatkan kehadirat Illahi Robbi, yang telah mencurahkan segala

            Nikmat-Nya, nikmat sehat wal-afiat dan terlebih lagi nikmat Iman dan Islam.

          Shalawat dan Salam senantiasa terlimpah curahkan kehadirat Rasulullah Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat dan para umatnya hingga akhir jaman, amiin..

          Kurang lebih dua bulan yang lalu, tepatnya bulan Agustus Ketua PW Ikapete Banten mengshare di WAG Ikapete Banten, tentang harus diadakannya Halaqoh Pemikiran Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari pada Muktamar II Pemikiran Hadratussyaikh KH. M. HasyimAsy’ari yang akan diadakan di Jakarta, dengan tema “Keislaman dan Etika Keilmuan” hal tersebut ditanggapi beragam sikap,  akan tetapi belum ada aksi nyata, maklum aktivitas masing-masing anggota, sibuk dengan profesi dan urusannya masing-masing dari urusan aktivitas rutin sampai urusan Pilkada dll, pada suatu kesempatan penasehat PW Ikapete Banten KH. Ahmad Qizwini berinisiasi membuka dialog serius dengan Ketua PW Ikapete Banten beserta sebagian pengurusnya  bahwa halaqoh tersebut segera dibahas dan dituntaskan.

            Pada  awal september PW Ikapete Banten, LLP, Lembaga Pengkajian dan Pengajian mengadakan pengajuan rutin bulanan, ke rumah-rumah para Alumni di Banten secara bergiliran dan pengajian reboan seminggu sekali di Pondok Pesantren Tebuireng 08, mulailah urat oret menyusun Road Map perhelatan Halaqoh tersebut, akan tetapi hanya beberapa orang yang respon, kami memaklumi hal ini bukan tugas yang mudah, mengingat kerja akademik, tulis menulis, bedah kitab, buku-buku dan bahan-bahan pembahasan, apalagi kami mengalami kesulitan menemukan alumni atau orang yang konsen mempelajari pemikiran Hadaratussyaikh, misalnya mendapatkan tulisan jurnal, skripsi, tesis, atau desertasi dan lain-lain tentang pemikiran Keislaman Dan Etika Keilmuan.

           Sebelum masuk ke pembahasan halaqoh, obrolan ke obrolan antara penasehat, ketua, anggota para Alumni PW Ikapete Banten kami mengumpulkan bahan-bahan, Kitab-kitab, buku-buku dan mencari Jurnal, tulisan-tulisan lain.

           Sebenarnya kami enggan, entah tawadhu, entah males ataupun emang kami ini memang keterbatasan pemikiran alias bodoh. Bagaimana mungkin seorang Guru Besar,  Hadaratussyaikh yang kita muliakan dan tokoh besar yang par-exellence harus kita bahas pemikirannya dan kemudian kita membuat format formulasi, pointer-demi pointer tentang pemikiran itu dan disajikan dalam bentuk makalah. Hal ini diibaratkan bagaimana mungkin mengambil air danau yang luas dan dalam,  sementara alat untuk mengambil airnya dengan sendok makan, pastilah sedikit yang kami dapatkan dan pasti tidak mewakili pemikiran beliau. Awalnya kami hawatir dan takut, jika proses perjalanan  membuat halaqoh pemikiran tersebut, seperti Imam Ibnu Malik menulis ualng Al-fiahnya Ibnu Mu’ti.

           Bagi Kami PW Ikapete Banten Hadaratussyaikh, merupakan reingkarnasi atau pengganti dari kehadiran wujud ulama besar Syaik Nawawi Tanara Al-Bantani. dimana kitab-kitabnya masih di pelajari dan dibahas sampai sekarang ini, buku-buku dan kitab-kitabnya dicetak ulang tanpa tahu bagaimana hak karya cipta, copy rightnya.

           Alhamdulillah dengan ilmu kepepet dan niat tulab ilmu, tgl, 27-28 September 2024 PW Ikapete Banten mulai dengan serius membahas dan mendalami pembahasan pemikiran Hadaratusyaikh tersebut, bersama-sama penasehat, ketua, pengurus dan alumni lain terutama yang menjadi tenaga pengajar di Tbi 08, yang bisa baca kitab kuning di buka dan dibaca kemudian dibahas,  yang bisa memformulasikan tulisan makalah dll, diseting kemudian dibentuk  tim, mulai ditulis tahap demi tahap, di edit, dibahas ulang diperbaiki huruf, perkalimat dan redaksinya. Sekali lagi syukur alhamdulillah Makalah Pemikiran KH. M. Hasyim Asy’ari sudah terselesaikan dengan segala kekurangan dan kelemahan kami.

Waallahu’afik ila aqwami toriq

Wassalamualaikum wr. Wb.

 

Tim Penyusun.

 

 

 

 

 

 

 

 

Bagikan

Tutup message